1 Mimpiku untuk Indonesia dikemudian hari
2 Penulis Idham Padmaya Mahatma, dkk. Penyunting: Donald Cresttofel Lantu, Ph.D R.Bayuningrat Hardjakaprabon,MBA. Amilia Wulansari,M.Si. Penata Letak: Syarif Ibrohim Mareta Faryanti Tim Penyusun: Dr. Eng. Sandro Mihradi Evin Kartina Fatris Julia Labene Khafit Mufadli Sutrisno Alamsyah Setyo Nugroho Tofik Hidayat Ricky Hidayat Sany Ivo Nindya Ayu Wulansari Diterbitkan oleh Lembaga Kemahasiswaan ITB Jalan Ganeca 10 Bandung, 40132 Telp./Faks. (022) 250 4814 Website : kemahasiswaan.itb.ac.id IG @lkitb | Twitter @itblk | OA Line @lk-itb
3 Isi buku Pengantar Rektor ITB Pengantar Ketua Tim Penyusun Artikel Para Penerus Bangsa Hitam merah hidup---11 Pelangi untuk ibu---17 Tiga belas kilometer untuk selamanya---23 Berani mimpi berani aksi---31 Catatan mimpi masa lalu---37 Your dream will become true---43 Mimpiku untuk indonesia di kemudian hari---51 Kala tuhan hadir di malam yang sunyi---57 Sepucuk surat untukmu, bandung---69 Bermimpilah, karena mimpi itu yang justru akan membawa kita mencapainya!---73 Mamah bapak izinkan aku kuliah---79 Satu kisah---85 Sang penakluk gading ganesha---91 Siapa bilang miskin nggak bisa kuliah---97 Lentera bidikmisi---103 Perjalanan hidup hingga mendapatkan beasiswa bidikmisi itb---109 Tentang penulis---115
5 Prof. Akhmaloka, Ph.D. Sambutan Kuliah di Perguruan Tinggi Negeri, dalam hal ini berkuliah di Institut Teknologi Bandung, saya yakini merupakan cita-cita besar dari banyak anak negeri, baik yang tinggal di kota maupun desa, di Jawa maupun luar Jawa, baik dari kalangan bangsawan ataupun rakyat biasa, baik dari yang berkemampuan ekonomi tinggi maupun yang ‗kurang mampu‘. Karena itu, ketika kita mendapatkan kesempatan untuk belajar di sana, hal itu merupakan suatu anugerah yang luar biasa yang diberikan oleh Tuhan YME, dan di saat yang bersamaan juga merupakan amanah dari orang tua kita, keluarga kita, masyarakat kita dan seluruh rakyat dan bangsa Indonesia kepada kita. Seluruh rakyat Indonesia, selama memenuhi standar akademik yang ditetapkan, berhak berkuliah di ITB. Kondisi ekonomi tidak boleh menjadi halangan dalam menempuh pendidikan di ITB. Itu telah menjadi komitmen kami, yang kami buktikan dengan dukungan penuh kami terhadap program Bidikmisi pemerintah, serta usaha kami dalam mencari dan
6 menyalurkan sejumlah beasiswa bagi para mahasiswa kami yang membutuhkan. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, Program Bidikmisi ibarat sebuah lentera yang memberikan secercah sinar harapan ditengah-tengah gelapnya malam, akibat berbagai hambatan dan keterbatasan. Namun lentera ini tidak dapat diperoleh dengan mudah. Ia hanya dapat diperoleh dengan kerja keras dan perjuangan. Para penerima beasiswa Bidikmisi ITB telah membuktikan bahwa mereka adalah pribadi yang tangguh, meski dengan segala keterbatasan, mereka tidak pernah menyerah untuk meraih mimpinya dengan berkuliah di ITB. Buku ini mengisahkan sebagian kecil dari potret perjuangan para penerima beasiswa Bidikmisi ITB dalam meraih cita. Semoga hadirnya buku ini dapat menjadi inspirasi yang mendorong semangat dan kepercayaan diri para anak negeri untuk meraih mimpi. Dan dengan berbagi kisah ini, semoga semakin banyak komponen masyarakat Indonesia yang berkontribusi, bahu membahu untuk mencerdaskan anak bangsa. Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh Prof. Akhmaloka, Ph.D. Rektor Institut Teknologi Bandung
7 Dr. Eng. Sandro Mihradi Pengantar Pendidikan itu untuk semua. Semua rakyat Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk bisa mendapatkan pendidikan yang layak, terjangkau dan berkualitas. Namun demikian, berbagai hal seringkali menjadi ganjalan bagi anak negeri untuk melanjutkan studinya di perguruan tinggi, diantaranya adalah faktor biaya. Memang, tak bisa dipungkiri, bahwa biaya kuliah dan biaya hidup untuk kuliah cukup mahal bagi banyak kalangan. Seringkali dengan alasan ini, banyak bibit-bibit terbaik negeri terpaksa memupuskan mimpinya untuk dapat berkuliah dan memilih aktivitas lain yang dapat langsung menghasilkan uang secara rutin. Namun pernahkah kita merenungkan pepatah ―Man jadda wa jadda‖? barangsiapa bersungguh-sungguh, maka akan ada jalan (keberhasilan) baginya. Ternyata tidak sedikit kita temui contoh-contoh nyata di sekitar kita orang-orang yang telah menjalani pepatah tersebut. Dengan berbagai hambatan dan keterbatasan, orangorang ini tetap gigih berusaha untuk mencapai mimpinya. Pada akhirnya nasib pun berpihak padanya dan cahaya penerang jalan pun hadir.
8 Lentera itu bernama Bidikmisi, program beasiswa dari pemerintah yang didukung oleh seluruh perguruan tinggi negeri. Program Bidikmisi memberikan kesempatan bagi mahasiswa Indonesia yang berlatar belakang ekonomi kurang mampu, namun berprestasi, untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi terbaik. Apakah quotanya sedikit? Tidak, quotanya cukup banyak, bahkan saat ini sekitar 1 dari 5 mahasiswa ITB adalah penerima Bidikmisi. Bagi penerima beasiswa ini, selain mendapatkan uang saku bulanan dan gratis biaya pendidikan, mereka juga mendapatkan rangkaian program pembinaan dan pengembangan diri sehingga diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi pembentukan karakter mahasiswa yang utuh yang sesuai dengan amanah undang-undang. Lewat buku ini kami ingin berbagi kisah perjuangan sebagian dari mahasiswa kami dalam meraih mimpi besar mereka dengan Bidikmisi. Supaya asa tetap dapat tumbuh bagi seluruh anak negeri, dan supaya mereka tidak takut untuk bermimpi untuk meraih cita tertinggi. Dr. Eng. Sandro Mihradi Ketua Tim Penyusun Pengelola Beasiswa ITB LE
9 “Aku harus menjadi kunci untuk membuka semua pintu di hidup ini, mulai dari pintu kesuksesan, pintu rejeki, pintu kebahagian dan pintu kebaikan lain yang belum terbuka.” Sosiana
11 Hitam Merah Hidup Idham Padmaya Mahatma Seseorang yang datang, selalu membawa kabar dan menorehkan cerita. Seperti dia, Ayah, dengan gigih memberikan semua makna yang ia punya. Seluruhnya dititipkan padaku, yang waktu itu masih berusia belasan. Ayah tahu benar bagaimana menjadi lelaki. Darinya, aku mendapat beberapa rahasia hidup perihal tanggung jawab dan bekerja keras. Aku sebegitu berterima kasih kepadanya, hingga saat ia mengutusku untuk mengantarnya ke Stasiun Gubeng Surabaya, aku tak menolak. Aku turuti, hingga bayangan Ayah hilang bersama bunyi klakson kereta. Namun, sungguh bukan Ayah apabila tidak menitipkan kejutan. Benar saja, di esok siang yang terik, Ibu mengutus seseorang untuk menjemputku pulang bersama adik. ―Ada
12 apa?‖ batinku. Dan, sesap itu terjawab ketika tenda ditambah beberapa bendera silang dikibarkan di pelataran rumah. ―Siapa yang tiada?‖ air mataku bertanya. ―Dham, Ayah pergi, karena jantung...‖ nenekku berbisik, sambil memelukku erat, ―Ibumu ke Jakarta, mengurus jenazah Ayah.‖ Aku hanya menangis. Sejenak berhenti. Apabila teringat, biarlah air mata ini jatuh lagi. *** Bagaimana rasanya menjadi anak lelaki semata wayang dalam keluarga tanpa ayah? Ya, penuh tekanan dan harapan. Satu sisi, aku depresi dengan status yatim di pikiranku. Lalu, sisi yang lain menginginkanku menjadi sekuat baja menopang biduk ekonomi keluarga yang mandek1 . Bukan apa-apa, Ibu, dahulu hanya seorang perawat rumah tangga, tidak bekerja, dan hanya mengandalkan kiriman dari Ayah. Akan tetapi, Sang Pengirim itu telah pensiun memberikan nominalnya. Akankah kami kelaparan dan mati akibat kekhawatiran? Jawabnya tidak. Aku, Ibu, dan adik masih sehat hingga tujuh tahun pasca kepergian Ayah. Meski, beberapa keadaan teramat berbeda. Tak ada lagi rumah yang dulu berubin persegi lebar, tak ada lagi kereta kencana untuk bepergian, 1 berhenti
13 serta tak ada lagi barang-barang peninggalan hasil kerja keras Ayah. Semuanya ludes, terjual, dijual, atau bahkan disita oleh lintah-lintah darat yang berkedok memberi bantuan. Lalu, bagaimana melanjutkan hidup seperti ini? Kami mulai berpindah-pindah alamat setiap tahun. Dari bilik satu, mengontrak ke bilik lain apabila biaya sewa naik. Dari usaha satu, beralih ke usaha lain apabila mengalami rugi atau sepi. Ya, saat itu usiaku masih belasan tahun, dan Ibu, mau tak mau mengutusku membantunya mengais rupiah. Tapi tenang, kami tidak sampai mengemis. Kami masih punya harga diri. Saat di bangku SMP, berbagai pengalaman hidup kujalani, yang tiada kutemui saat Ayah masih ada. Di sekolah, aku sering kucing-kucingan dengan penagih biaya bulanan, sebab pengajuan keringanan belum disetujui hingga beberapa bulan lamanya. Pulang dari sekolah, aku buru-buru balik ke rumah, bersepeda angin sejauh enam kilometer jauhnya. Dan setelah tiba, beberapa pekerjaan mengantar sembako, kue, dan baju pesanan teman Ibu sudah menjadi rutinitas. ―Panas sekali di luar,‖ gerutuku, saat bulan puasa dan harus mengantar barang. Maaf, latar cerita ini bukan di Bandung yang sejuk, tetapi di Sidoarjo, sebuah kota terik dekat lokasi lumpur Lapindo. ***
14 Singkat cerita, aku diterima di SMA negeri favorit di sana. SBI pula. Dan setelah melalui seleksi panjang, aku diberi kesempatan memperoleh beasiswa. Sejenak, aku panjatkan puji syukur kepada Tuhan. Siapa bilang masa SMA ialah masa terindah? Bagiku sama saja, tak berubah. Aku hanya fokus ke studi dan membantu Ibu memeras rupiah. Tak ada namanya suka ke lawan jenis, atau pergi ke bioskop saat Sabtu-Minggu. Yang kutahu, duduk di kelas sambil memerhati, bersapa dengan guru seramah mungkin, dan pulang dengan rutinitas harian yang bertambah di malamnya. Ya, kini tiap malam aku mengajar murid SD dan SMP putra tetangga. Setelah pukul sembilan malam, barulah buku diktat pelajaran aku jamah, atau lebih sering tertidur di atasnya karena lelah. *** Biaya hidup makin menanjak, sementara penghasilan hanya cukup untuk makan. Maka, aku mempunyai ide untuk berjualan hijab/kerudung di sekolah. Coba kau bayangkan, seorang anak lelaki, berkulit hitam, berambut cepak, dan berjerawat karena puber, membawa katalog dan sampel hijab/kerudung ke kelas-kelas serta ruang guru untuk dijajakan. Oh, apa mungkin terjual? Jawabnya mungkin, meski lebih banyak yang tertegun kaget. Beberapa lain kasihan, dan akhirnya membeli satu.
15 Namun, tak masalah bagiku. Asalkan perut kenyang, beribu ejekan bukan halangan. Suatu ketika, Bu Aisyah, seorang guru baik hati menawari untuk membawa daganganku ke arisan Dharmawanita. Tentu saja aku setuju, maka tak kusia-siakan kesempatan itu. Bermodal ratusan ribu, Ibu belanja, dan memberi stok untuk kubawa nantinya. Kegiatan itu berlangsung sampai aku genap kelas tiga, dan akhirnya cuti, sesaat sebelum UN serta SNMPTN dengan alasan fokus belajar. *** Nilai UN milikku biasa saja, di ambang batas rata-rata sekolah. Aku masih gamang, ingin lanjut kuliah atau mencari kerja. Hingga, Bu Karomah, seorang guru BK menunjukkan poster BIDIKMISI dan aku tertarik mempelajari. Kukumpulkan semua berkas, mulai kopian SKTM dari kelurahan yang birokrasinya luar biasa berliku, sampai transkrip rapor. Bermodal keyakinan, aku mendaftar ITB jalur undangan dengan pilihan: FTI2 , FTTM3 , dan FMIPA4 . Pukul 19.05 sepulang dari masjid, seseorang menelepon Ibu, memberikan selamat karena aku diterima di FMIPA ITB. Aku tak percaya, hingga tak sadar telah tersujud di lantai. Ini tangis kedua setelah Ayah tiada, tangis bahagia. 2 Fakultas Teknik Industri 3 Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan 4 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
16 *** Bandung, sebatang kara, bermodal hasil jualan Ibu, aku berangkat meraih masa depan. Daftar ulang, matrikulasi, dan perkuliahan segera dimulai. Ketika tak ada yang mengenalmu, bolehkah kau menjadi dirimu yang baru? Aku mengubah bentuk pribadiku di sini. Di SMP-SMA, aku termasuk pribadi pemalu dan takut akan tanggung jawab. Maka di sini, aku masukkan diriku ke kemungkinan lain. Aku mulai berani berbicara, berani mencalonkan diri memangku tanggung jawab, dan berani mencoba. Apa hasilnya? Ya, kini aku diamanahi rekan-rekan untuk menjadi Ketua Angkatan Kimia ITB 2011 serta Ketua Unit Majalah Kampus Boulevard ITB. Kelak, saat aku lulus, dengan bekal mengarahkan orang, aku ingin jadi seorang pengusaha di bidang media. Tak nyambung? Tak masalah. Barangkali, aku memulai episode hidup dari titik balik ini. Dari kepergian Ayah yang tiba-tiba. Dari lintah darat yang menggerogoti kami setelahnya. Dari lika-liku di SMP dan SMA. Dari masuk kuliah, hingga kini menjadi mahasiswa tingkat tiga di prodi kimia. Ini hitam-merah hidupku, bagaimana denganmu? []
17 Pelangi untuk Ibu Nia Ayu Sore yang hangat. Matahari hampir tenggelam di peraduan. Namun belum sampai tujuannya. Cahayanya indah. Jingga membaur di langit luas. Jalanan tampak masih basah karena hujan siang tadi menambah suasana hangat yang selalu kurindukan. Aku masih ingat dengan sangat lekat, saat itu jam dinding di rumahku menunjuk angka tiga. Ibuku baru pulang dari suatu tempat yang tidak kuketahui. Sambil membawa map di tangan kirinya dan menggandeng adikku yang masih kelas nol kecil dengan tangan kanannya. Ibuku memasuki gubukku yang reot, tidak pernah lupa beliau mengucap salam dengan nada yang riang. ―Assalamu‘alaikuumm!‖ Kala itu aku masih duduk di kelas tiga SD. Aku telah menanti ibuku yang biasanya jarang bepergian itu sejak pulang
18 sekolah tadi. ―Walaikumsalam! Ibu dari mana?‖ aku menjawab dengan bersemangat dan wajah berbinar. Karena aku selalu cemas ketika ditinggal ibuku pergi dan kecemasan itu pecah saat mendengar salam ibu. Aku curiga dengan map merah di tangan kirinya. ―Ibu, itu apa?‖ tanyaku penasaran. Padahal ibuku belum sempat menjawab pertanyaan sebelumnya. ―Bukan apa-apa,‖ jawab ibu singkat sembari menaruh map merah itu di dalam lemari bagian paling atas. Aku yakin tujuannya supaya aku, si bocah ingusan ini, tidak bisa menjangkaunya. ―Bagaimana tadi sekolahnya, nak? Bisa tidak ngerjakan soal dari Bu Guru?‖ ibuku mengalihkan pembicaraan. ―Bisa kok. Gampang!‖ jawabku arogan lalu masuk ke dalam kamar. Ayu kecil adalah gadis dengan rasa keingintahuan yang sangat tinggi. Dia akan mencari jawaban atas segala pertanyaan yang hilir mudik di kepalanya sampai dapat! Apapun itu dan dengan cara apapun. Dari dalam kamar, aku menguping pembicaraan ibu dengan bibiku. Aku mendengar kata ‗hakim‘, ‗jaksa‘, ‗persidangan‘ di antara pembicaraan mereka. Aku sangat asing dengan kata-kata tersebut. Tapi satu kata yang aku tangkap dan aku samar-samar tahu maknanya, yaitu kata ‗cerai‘. Beberapa menit aku terus menguping, dan tanpa sadar
19 melelehlah air mata si gadis kecil yang periang itu. Hancur sudah hatiku. Apa yang aku takutkan terjadi pada akhirnya. Iya, ayah dan ibu memang sudah lama tidak serumah karena ayah harus bekerja di luar kota. Beberapa kali tetangga menggunjing ayah menikah lagi, mungkin itu yang menjadi alasan ibu menggugat cerai ayah walau tanpa bukti yang kuat. Memori itu tidak akan pernah hilang dari ingatan. Akan mengalir bersama aliran darah dan ikut bertumbuh tak akan termakan waktu. Rasa sakit harus menerima kenyataan keluarganya tidak lagi utuh menjadi cambuk bagi si gadis kecil untuk terus berprestasi. Pada awalnya aku merasa sangat minder. Di dalam kelas aku yang ceria menjadi murung dan malas berbicara. Ketika bel istirahat berbunyi, aku lebih memilih diam di kelas dari pada berbaur dengan teman sejawat. Tapi ketika pelajaran aku tetap berusaha aktif. Menjawab pertanyaan guru dengan tangkas, dan mengerjakan tugas-tugas dengan tepat dan cepat. Satu yang mendorongku mengalahkan rasa minder itu adalah kata-kata ibuku, yang tidak akan pernah kulupakan sampai kapan pun. Pesan ibu adalah ―Tentang perceraian Ayah dan Ibu itu masalah orang dewasa. Ibu yakin suatu saat nanti kamu akan menemukan alasannya. Tugasmu hanya satu, buktikan ke orang-orang bahwa kamu bisa berprestasi. Melebihi anak-anak dari keluarga yang masih lengkap.‖ Sampai sekarang pesan ibu itu masih kupegang. Menjadi bahan bakar ketika api terlihat mulai redup.
20 Untuk biaya sekolah dan keseharian kami ditanggung oleh keluarga ibu. Sebagai ucapan terima kasih ibu rela menjadi ―pembantu‖ di rumah saudaranya sendiri. Meskipun sesungguhnya keluarga ibuku tidak menginginkan imbalan atas bantuan yang diberikan, tapi ibuku merasa tidak enak ketika menerima bantuan tersebut dengan cara cuma-cuma. Hal ini ibu lakukan dari awal ibu bercerai dengan Ayah hingga sekarang. Beberapa tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2005, bibi yang membiayai hidup kami jatuh sakit. Tidak hanya bibi saja tetapi juga paman terserang penyakit stroke, meskipun dalam waktu yang tidak bersamaan. Tentu ini menjadi pukulan besar bagi keluarga kami. Tidak hanya fisik dan mental yang dihabiskan untuk mencari pengobatan terbaik, tetapi juga dalam hal keuangan. Hingga pada akhirnya, di titik puncak kelelahan anak dari sepasang malaikat kami ini berbicara pada ibu, ‖Lek5 , kami bisa bantu sekolah Ayu dan Bagas mungkin hanya sampai SMA. Karena jujur, biaya kuliah itu mahal. Sedangkan kami juga punya keluarga yang juga harus dicukupi kebutuhannya. Tapi kami akan membantu semampu kami‖ Hancurlah harapanku untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Rasanya aku sudah pasrah dengan segala hal yang ditetapkan Sang Maha Kuasa. Meskipun begitu aku tidak 5 Panggilan ke anak kecil atau bocah
21 menyerah. Ketika SMA aku tetap memberikan yang terbaik. Berusaha menjadi yang terbaik. Beberapa kali aku mewakili sekolahku lomba mata pelajaran Biologi, meskipun menang hanya sekali. Di kelas pun persaingan sangat ketat. Wajar saja, sekolahku adalah satu-satunya SMA RSBI6 di Bojonegoro saat itu. SMAN 1 Bojonegoro juga dikenal oleh masyarakat di kotaku sebagai sekolah terbaik sejak dulu. Meskipun sudah belajar sampai larut, juara pertama di kelas tidak pernah aku raih. Tapi paling tidak aku telah berusaha, aku tidak pernah menyesali setiap usahaku karena aku percaya tidak ada satu pun usaha yang sia-sia, aku percaya ada Tuhan Yang Maha Adil. Ketika teman yang lain sudah memutuskan dan mantap akan pilihannya, aku, hingga minus 30 hari pengisian kuesioner SNMPTN, belum juga terpikir fakultas dan universitas mana yang harus kupilih. Karena aku pesimis aku tidak tega melihat ibuku semakin sengsara jika aku meminta melanjutkan kuliah. Apalagi saat itu aku menginginkan fakultas kedokteran. Aku tetap berdoa kepada Sang Maha Pemberi Rizki, mengharapkan diberi jalan dan kemudahan atas masalah ini. Hingga suatu saat ibu mendapat kabar dari temannya bahwa ada program Bidikmisi, yaitu program pemerintah yang dikhususkan untuk siswa berprestasi yang ingin melanjutkan ke 6 Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional
22 perguruan tinggi tapi tidak mampu secara finansial. Ada secercah harapan untukku membayar semua pengorbanan ibu. Selama waktu menanti hasil pengumuman, aku belajar siang-malam. Shalat tahajjud dan istiqarah hingga puasa Senin-Kamis aku lakukan. Semakin lama, aku semakin bersemangat dan optimis. Hingga akhirnya, kuyakinkan untuk memilih ITB (Institut Teknologi Bandung) sebagai PTN (Perguruan Tinggi Negeri) pertama dan SBM (Sekolah Bisnis dan Manajemen) sebagai prodi pertama. Pada tanggal 27 Mei 2013, setengah berdebar aku memberanikan diri membuka pengumuman hasil SNMPTN di web DIKTI, dan alhamdulillah aku dinyatakan diterima. Betapa bahagianya melihat ibu menangis terharu mengucapkan selamat untukku. Memelukku erat dan menciumku berkali-kali. Tidak semua hal di dunia ini bisa dimasukkan ilmu nalar, Kawan. Sebutlah yang kudapatkan ini adalah keajaiban yang dikirim Tuhan untuk ibuku. Pelangi yang indah untuknya. Untuk perjuangan kerasnya. Untuk air matanya. Berbaktilah dan lakukan yang terbaik, Tuhan memberi jalan! []
23 Tiga Belas Kilometer untuk Selamanya Sosiana Dwi Ningsih Namaku Sosi, ibu dan ayahku menamaiku seperti ini karena sosi bermakna kunci dalam Bahasa Jawa. Aku harus menjadi kunci untuk membuka semua pintu di hidup ini, mulai dari pintu kesuksesan, pintu rejeki, pintu kebahagian dan pintu kebaikan lain yang belum terbuka. Ibuku adalah pensiunan PNS sedangkan ayahku sudah lama meninggal ketika aku berumur satu tahun karena tersengat aliran listrik. My Mother is also my father. Dalam didikan seorang ibu yang keras dan tangguh aku terus dibekali semangat untuk tidak pantang menyerah, tidak pernah pesimis dan percaya bahwa kemungkinan selalu ada. Aku merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Kakak laki-lakiku adalah seorang yang cukup cerdas. Namun ia tak bisa melanjutkan ke bangku kuliah karena permasalahan klasik
24 yaitu biaya. Saat itu untuk bisa melanjutkan kuliah dengan biaya yang cukup murah sangat sulit adanya. Menjadi mahasiswa adalah salah satu keinginan terbesarku selama ini, lebih tepatnya keinginan seluruh keluarga besarku dan kakak laki-lakiku. Bisa dihitung dengan jari sanak saudara dariku yang menimba ilmu di PT dan menjadi sarjana. Untuk merajut apa yang telah menjadi asa aku mengukuhkan diri untuk terus menimba ilmu. Semenjak SMP tiga belas kilometer adalah jarak yang selalu aku tempuh setiap hari dari sekolah ke rumahku dan berlanjut pula sampai SMA. Tiga belas kilometer pula yang selalu aku lalui dengan kendaraan umum. Satu kali naik angkot dan satu kali pula naik bus. Tiga belas kilometer, jarak peraduan dan ilmu yang aku tempuh. Setengah enam pagi dan tak boleh telat aku berangkat dari rumahku. Langsung aku menunggu bersama orang yang akan pergi ke pasar dengan beragam dagangan. Jika musim panen tiba maka aku akan bersama-sama dengan ibu-ibu yang pergi bekerja mencangkul di lahan orang dengan capingnya dan juga karung berasnya. Pulangnya biasanya aku akan bersama dengan ibu-ibu atau mbak-mbak buruh pabrik wig dan bulu mata dari Korea yang setiap harinya bekerja dengan telaten memintal satu persatu rambut untuk dijadikan mahkota wanita.
25 Tiga belas kilometer inilah beragam golongan pernah kujumpa. Dari cerita perjalanan setiap harinya inilah aku selalu ingin bermimpi bahwa tigabelas kilometer ini bisa membawaku lebih dari berkilo-kilo meter jauhnya dari yang aku bisa. Membawa mimpi dan harapan baru. Aku tidak ingin anganku hanya berhenti menjadi sesosok orang bercaping dan menjadi buruh bulu mata saja. Dengan ilmu yang aku genggam aku ingin bisa bermanfaat untuk orang banyak, untuk tetanggatetanggaku di desa. Entah kenapa aku ingin sekali menjadi pemimpin di kota kelahiranku inil Dan aku tahu perjuangan untuk mencapainya akan susah. Semasa SMA aku aktif di kegiatan Olimpiade Sains Nasional di bidang Astronomi. Sejak itu aku baru mengenal bagaimana hebatnya ITB karena banyak sekali pemenang olimpiade yang berkuliah disana. Terpikir pula sosok seperti Habibie dan Soekarno dan saat itu pulalah hasrat untuk mengejar cita di kampus ini tumbuh begitu kuat. Dengan keterbatasan yang aku miliki aku malah menjadi lebih bersemangat. Saat itu aku tak punya kompoter maupun labtop, untuk menunjang mata pelajaran maka setiap pulang sekolah aku selalu ke perpustakaan maupun lab komputer untuk mencari tambahan ilmu atau sekedar mencari informasi beasiswa. Pulang sore adalah rutinitas karena di rumahku yang terbilang di daerah desa aku tak bisa mengakses informasi.
26 Informasi dari BK pun kurang terbuka dan kurang memadai dengan kehausan informasiku. Dari internetlah aku mengetahui banyak sekali kesempatan emas untuk mendapatkan kuliah gratis. Aku mencoba beasiswa seperti Paramadina Fellowship, Monbukagakusho ke Jepang, dan tentunya lewat internetlah. Aku tahu ada kesempatan berkuliah di PTN secara gratis yaitu lewat Bidikmisi. Aku pun mendaftar SNMPTN undangan dan Bidikmisi sekaligus untuk pilihan pertama Fakultas Kedokteran UGM (pilihan dari ibuku) dan pilihan kedua adalah SAPPK ITB (pilihanku sendiri). Namun sayang aku gagal di keduanya, nilai rapotku tidak tembus ke kedokteran dan aku pun kecewa karena tidak bisa lolos juga di pilihan hatiku. Saat aku aku sangat terpuruk, ketakutan datang menghadang, aku takut tidak bisa masuk ke universitas mana pun, tidak bisa kuliah dan akhirnya mimpiku untuk kuliah pupus sudah seperti halnya kakak laki-lakiku. Waktu makin dekat dengan SNMPTN tulis sedangkan aku sama sekali tidak ikut les bimbingan belajar mana pun. Ikut bimbel sama saja dengan harga biaya sekolahku di SMA, yang bahkan aku tidak pernah membayar karena selalu mendapat beasiswa. Saat itu perekonomian keluarga sedang tidak baik, kakakku uringuringan dan menyalahkan ibuku karena memaksaku mengambil kedokteran. Terpuruk boleh saja, tapi matahari masih akan terbit esok hari. Aku harus bersinar lagi laksana mentari pagi itu
27 yang kupandang dari sudut jendela bis yang kutumpangi. Beragam langkah kususun di otak untuk tetap bisa melanjutkan mimpi. Setelah dinyatakan lulus UN dengan peringkat 8 dari SMA aku dan beberapa temanku mendaftar magang di kantor tata usaha SMA. Sudah menjadi tradisi di sekolahku bagi para lulusan baru yang belum terdaftar di universitas mana pun dipersilakan magang di sekolah. Dengan ―uang transport‖ yang seadanya yaitu dua puluh lima ribu rupiah seminggu. Suatu nilai yang kecil tentunya dan dengan uang itu aku menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupanku kelak di Universitas. Setiap hari aku bekerja membantu petugas TU lainnya dari jam 07.00 pagi sampai jam 14.00 siang. Terkadang hari libur pun kami tetap ―ngantor‖. Yang paling berkesan adalah ketika aku berjumpa dengan teman satu angkatan yang sedang legalisasi ijazah dan dia sudah diterima universitas keinginan mereka. Saat itu aku merasa sedih karena belum bisa menjadi almamater manapun. Untuk menebus rasa bersalah dan juga karena tidak ikut bimbel manapun setiap pulang kerja sampai malam hari aku belajar keras dari soal-soal fotokopian yang aku dapat dari tempat bimbel temanku. Dengan uang tabunganku aku juga membeli buku soal ujian SNMPTN untuk kupelajari sendiri. Terkadang aku belajar pula saat waktu senggang kerja dan ketika di bis. Kali ini aku tak boleh gagal untuk masuk universitas impian.
28 Tibalah hari-hari menjelang pertempuran. Ketika aku mendapat kabar ternyata beasiswa Paramadina Fellowship juga tembus ke tahap seleksi dua dan seleksi yang kedua akan berlangsung di Jogjakarta tepat pada hari kedua tes SNMPTN. Saat itu aku gundah memilih antara ITB dan Paramadina. Aku takut tidak berhasil di ITB dan aku tidak tahu akan kuliah dimanapun. Hingga akhirnya ibuku memberi saran untuk mengambil kesempatan dua-duanya. ―Yah, dicoba dulu. Siapa tahu ada rezekimu Nduk7 !‖ begitu ibu berkata. Aku pun memutuskan untuk ikut dua tes tersebut sehingga aku ikut SNMPTN di Jogja. Yang tak akan membuatku lupa adalah usahaku menuju kesana. Ibuku dan aku ke Jogja dengan mengendarai sepeda motor selama kurang lebih 5 jam dan ibuku sebagai ―My father and my Mother‖ lah yang mengendarainya. Demi cita-cita anaknya ia rela berkorban ratusan kilometer. Sebuah perjalanan yang tidak akan aku lupakan. “Melawan keterbatasan, dan sedikit kemungkinan, Tak akan menyerah, untuk hadapi , Hingga sedih tak mau datang lagi,” 7 Panggilan ke anak perempuan
29 Itulah sepenggal lirik lagu dari Ipang di Film Laskar Pelangi. Dan kini aku sadar pengorbanan itu begitu berharga untuk aku sia-siakan keberadaanya. Kini aku telah berdiri di menara gading yang telah aku impi-impikan sebagai mahasiswa Arsitektur semester 5. Aku telah memegang kunci keberhasilan seperti yang ibu dan almarhum ayahku citacitakan. Yang terpenting saat ini adalah memegang amanah itu dan membuka semua pintu keberhasilan selanjutnya. Masuk ITB itu bagaikan pergi ke Dufan. Dengan satu stempel gajah ini kita bebas mengenyam seluruh wahana ilmu pengetahuan yang Dewa Ganesha ini berikan secara gratis. Terlebih kini aku pun masuk ke dalam bagian keluarga Bidikmisi ITB Mengenakan setelan jas almamater berwarna hijau biru dengan lambang gajah di dada kiri bagai menopang beban yang gajah berikan kepadaku, beban putra putri terbaik bangsa. Seraya mengucapkan salam laksana janji kami kepada negeri ini yaitu salam Ganesha. Negeri ini telah memberi ilmu kepadaku tinggal kini saatnya aku membalas budi baik negeri ini, desaku, dan tentunya ibuku. Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater Salam Ganesha []
31 Berani Mimpi Berani Aksi Nia Alprilia Terkadang rencana Tuhan itu memang susah untuk ditebak. Hanya rasa syukur yang dapat aku ucapkan terus menerus ketika kemudahan itu datang setelah perjuangan panjang yang aku alami. Sejak duduk di kelas 2 SMA aku bercita-cita menjadi seorang pengusaha muda, terinspirasi dari sebuah buku tentang pengusaha. Di dalam buku itu tertulis bahwa dengan menjadi pengusaha kita dapat jauh memberikan manfaat untuk orang lain. Profit yang dihasilkan dari usaha kita dapat digunakan untuk membangun berbagai fasilitas umum seperti, rumah sakit, tempat ibadah dan sekolah untuk daerah 3T (Terluar, Tedepan dan Tertinggal). Aku mempunyai prinsip yang kuat dalam hidupku, yaitu aku ingin menjadi manusia yang dapat memberikan manfaat kepada masyarakat. Selain itu, aku ingin membanggakan kedua orang tuaku karena Tuhan berfirman
32 dalam kitab-Nya, ―Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat.‖ Target terdekatku untuk merealisasikan mimpi ini adalah dengan menimba ilmu di Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB untuk mendapatkan pengetahuan bisnis, relasi, koneksi dan pengalaman bisnis yang dapat aku gunakan sebagai modal untuk merintis usahaku kelak. Pada suatu ketika orang tuaku yang merantau di Lampung menghubungiku dan aku mengutarakan niatku untuk melanjutkan pendidikan dengan kuliah. Namun, orang tuaku kurang setuju dan berusaha menjelaskan kondisi ekonomi keluarga kepadaku. Orang tuaku menjelaskan bahwa saat ini tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi. Hal ini disebabkan sulitnya kondisi pasar di Lampung Barat yang merupakan sumber roda ekonomi bagi keluarga kami. Sedangkan adikku menderita autis sejak lahir, sehingga tidak dapat bersekolah dengan normal seperti kebanyakan anak pada umumnya. Keuangan keluargaku banyak digunakan untuk membiayai pengobatan adikku sejak kecil, hingga kini adikku yang telah berusia 14 tahun tidak dapat bersekolah di SLB (Sekolah Luar Biasa) karena terbentur masalah biaya dan tidak sedikit pula SLB yang menolak untuk menampung adikku. Keadaan ini tidak membuatku menyerah begitu saja, demi orangtua dan adikku, aku harus terus berusaha untuk
33 meraih prestasi yang cemerlang dan kelak mendapatkan beasiswa yang mampu meringankan beban orang tuaku. Mengingat kondisi perekonomian keluargaku, membuat aku semakin terpacu untuk melanjutkan pendidikan setinggi mungkin untuk memperbaiki kehidupan keluarga, terlebih lagi aku adalah anak pertama dari dua bersaudara, sehingga merupakan tanggung jawabku untuk membantu dan membahagiakan keluargaku. Aku sungguh ingin melihat senyum bahagia kedua orangtuaku. Ketika menginjak kelas 3 SMA aku mulai menentukan arah kemana aku akan melanjutkan kuliah sesuai dengan citacita yang aku inginkan. Hingga suatu ketika aku menemukan halaman menarik di Internet tentang SBM ITB, halaman itu menjelaskan bagaimana kuliah di SBM dan segala aspeknya. Aku mulai banyak mencari informasi tentang SBM ITB dari berbagai sumber media. Namun, setelah melihat harga yang harus dibayarkan per semesternya aku mulai merasa tidak percaya diri untuk memasuki fakultas ini. Aku merasa bingung, sedih, dan tidak tahu harus bagaimana menjelaskan kepada kedua orang tuaku, terlebih lagi aku mengetahui bahwa kedua orang tuaku tidak memiliki uang untuk membiayai cita-citaku ini. Hingga suatu ketika guru BK (Bimbingan Konseling) SMA-ku memberikan kabar gembira tentang beasiswa Bidikmisi, sesuatu yang aku idam-idamkan untuk meringankan beban orangtuaku. Aku mulai menemukan titik terang jalanku untuk bisa melanjutkan pendidikan ke
34 perguruan tinggi dan memperbaiki taraf hidup keluarga kami. Aku mulai berkonsultasi dengan guru BK tentang program pemerintah ini, bagaimana persyaratannya dan hal-hal yang perlu diperhatikan dari beasiswa Bidikmisi ini. Bidikmisi bagiku adalah beasiswa yang sangat meringankan beban hidupku serta membantu kalangan tidak mampu dari segi ekonomi untuk dapat melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Aku mulai mengumpulkan persyaratan yang diminta untuk diisikan kedalam portal Bidikmisi. Aku berdoa dan memberi kabar gembira ini kepada orang tua. Setelah pengumuman SNMPTN 2013, aku sangat senang dapat masuk di SBM ITB dengan biaya beasiswa dari Bidikmisi. Setelah berangkat ke Bandung dan mengikuti kegiatan matrikulasi aku tahu banyak hal dan pengalaman yang berharga. Dan ternyata, Bidikmisi ITB itu beda dari Bidikmisi oleh universitas lain. Bidikmisi ITB mengadakan kegiatan matrikulasi untuk melatih softskill dan adaptasi dengan lingkungan baru yaitu Bandung, uang yang diturunkan perbulannya Rp950.000,00, diadakan training tentang bidikmisi, seminar-seminar besar serta bertemu dengan rektor, dekan, dosen, dan masih banyak lagi. Serta, terdapat asrama untuk putra maupun putri sehingga bisa meringankan lagi biaya hidup di kota Bandung. Kegiatannya sangat bermanfaat untuk bersosialisasi dengan teman-teman yng juga Bidikmisi.
35 Setelah perjuangan itu aku mengerti bahwa aku harus lebih bersemangat dan mengabdi kepada negeri ini. Aku juga ingin menepis anggapan bahwa tidak hanya orang yang memiliki kemampuan dalam hal finansial saja yang dapat berkuliah. Walaupun aku berasal dari keluarga sederhana, bukan alasanku untuk menyerah pada garis takdir Tuhan. ―Aku tidak akan merubah nasib hambaku kecuali ia ingin merubahnya sendiri.‖ Usaha yang dilakukan pasti akan ada hasilnya. Tidak ada hasil yang sia-sia ketika kita sudah berusaha sekuat tenaga yang kita punya jika kita memang menginginkan sesuatu terjadi pada kita maka carilah jalannya, bertindaklah agar sesuatu itu terjadi pada kita. Berdoa, berusaha dan berkaca supaya Tuhan mengabulkan doa kita. Bidikmisi awal dari realisasi mimpiku, realisasi aksiku. Untuk yang kusayangi orangtuaku, adikku dan bangsa ini. Kupersembahkan essay ini untuk Bidikmisi yang telah membuka jalanku meraih mimpi. []
37 Catatan Mimpi Masa Lalu Bayu Rian Ardiyansah Dulu bagiku Bandung hanya terlihat lewat layar TV, kini tiap sudut kotanya adalah kehidupanku sehari-hari. Dulu bagiku tiga huruf, ITB, terasa begitu jauh, kini tanpa sadar aku telah menjadi bagian darinya. Mencapai titik ini bukan jalan yang mudah, tapi juga bukan mustahil. Ini hanya soal seberapa besar mimpimu dan seberapa jauh memperjuangkannya. Pada ujungnya, jalan yang mengubah mimpi itu menjadi kenyataan bernama Bidikmisi. *** “Nunggu apa lagi? Gak ngelamar kerjaan?” Pertanyaan itu menjadi makanan sehari-hari seiring semakin dekatnya bulan kelulusan. Maklum, sebagai siswa SMK sudah sewajarnya setelah lulus, kami langsung bekerja. Kuliah bukan pilihan yang wajar bagi kami. Sebaliknya, lowongan pekerjaan dengan gaji
38 yang menjanjikan banyak ditawarkan Bursa Kerja SMK. Logika sederhananya, daripada memilih kuliah yang menghabiskan banyak dana dan harus belajar lagi lebih baik langsung bekerja dan mendapatkan uang. Saat itu aku sendiri masih merasa bingung menentukan pilihan hendak ke manakah setelah lulus nanti, bekerja atau kuliah. Sejak awal aku sadar bahwa menjadi operator ataupun mekanik bukanlah pekerjaan yang kuinginkan. Dengan banyaknya pilihan di kehidupan ini, aku tidak ingin terjebak ke dunia yang aku sendiri tidak menikmati keberadaanku di sana. Bagiku masa muda adalah waktuku untuk mengembangkan segala potensi yang dianugerahkan Tuhan kepadaku. Aku tidak ingin menyia-nyiakannya hanya karena alasan uang. Aku ingin mengejar mimpi sejauh mungkin, menimba ilmu setinggi mungkin, dan membuka pintu kesempatan sebanyak mungkin. Hingga akhirnya, menemukan dan mengenal siapa aku sedalam mungkin. Berbekal idealisme seperti itulah, tak satu pun surat lamaran kerja kukirimkan. Hari demi hari terus berlalu tanpa kepastian, sementara sebagian teman-temanku sudah diterima bekerja bahkan sebelum UAN. Desakan untuk segera melamar kerja terus berdatangan tidak hanya dari teman-teman terdekat, namun juga dari orang tua. Memang, melihat kondisi ekonomi keluarga tidak mungkin bagiku untuk melanjutkan kuliah dengan biaya sendiri. Terlebih, sebenarnya orang tua
39 menyekolahkanku di SMK dengan harapan aku bisa langsung bekerja dan membantu membiayai sekolah kedua adikku. Hingga akhirnya, secercah harapan itu datang juga dari sebuah obrolan santai. Ternyata, ada beasiswa yang dapat membantu kita kuliah tanpa mengeluarkan uang sepeser pun, bahkan mendapat uang bulanan. Perlu diketahui, bahwa hidup di SMK membuat informasi beasiswa seperti ini langka, kecuali bagi mereka yang mau mencari informasi. Yang kebanyakan ada adalah informasi lowongan pekerjaan apa yang baru. Akhirnya, berbekal secuil informasi ini, tanya-tanya ke Bimbingan Konseling (BK) dan tentunya bantuan Google, informasi rinci tentang Bidikmisi terkumpul. Pada hari itu juga aku memantapkan diri untuk memilih melanjutkan kuliah. Keputusan itu menimbulkan hukum aksi-reaksi yang tak terelakkan. Pandangan skeptis mulai bermunculan ketika teman-teman mengetahui keinginanku untuk kuliah di ITB. Sering mereka menghitung-hitung peluang keberhasilanku menembus SNMPTN jika dibandingkan anak-anak SMA yang sudah dipersiapkan untuk menghadapinya selama 3 tahun. Apalagi aku tidak mengikuti bimbel karena memang tidak ada biaya untuk itu dan peluang itu terlihat semakin kecil dengan tujuanku yang tidak tanggung-tanggung, ITB. Kampus yang dianggap hanya menerima putra putri terbaik negeri ini. Bagaimana pun juga, apa pun kata mereka, show must goes on.
40 Sebenarnya, aku ingin membuktikan kebenaran teoriteori sukses yang sering kita dengar di seminar motivasi maupun yang sering kita baca di buku-buku pengembangan diri. Mereka seringkali berkata bahwa asalkan yakin seratus persen ditambah usaha maksimal dan doa tanpa henti, niscaya apa pun mimpi kita, pasti dapat menjadi kenyataan. Dengan mempraktekkannya, aku ingin dikenal sebagai seorang pemimpi yang berhasil mewujudkan mimpinya, bukan sebagai pengkhayal yang hanya berharap keberuntungan datang. Maka, kutuliskan mantra ―Man Jadda Wajada‖ yang kudapat dari novel Negeri 5 Menara dan kutempelkan di dinding kamarku. Dengan bermodal semangat 45, perjuanganku pun dimulai. Keterbatasan dana membuatku tidak bisa ikut bimbel. Akhirnya, aku belajar dengan berbekal buku kumpulan soal SNMPTN beserta pembahasannya dan setumpuk buku IPS pinjaman dari teman-teman SMA. Siklus belajar tanpa henti ini dimulai sekitar dua bulan sebelum UAN. Ke mana pun pergi, kubawa minimal satu ‗bacaan‘ wajib tersebut. Sebanyak mungkin soal kukerjakan dengan menyesuaikan pembahasan yang ada. Menyadari keterbatasan ilmu, aku sering belajar bersama teman-teman seperjuangan dari SMA. Beberapa dari mereka ikut bimbel, artinya buku pembahasan dari bimbel tersebut bisa kupinjam. Intinya, berbagai persiapan kulakukan dengan berprinsip going the extra miles, melebihkan usaha dari rata-rata yang orang lain lakukan.
41 Tentu saja,sebagai manusia biasa kadang keyakinan itu pergi dan berganti dengan keraguan. Orang tua juga ikut mengkhawatirkan akibat keputusanku ini ke depannya, seperti bagaimana jika tidak lulus SNMPTN dan juga tidak mendaftar kerja ke mana pun. Menganggur jelas hanya akan merepotkan keluarga saja. Kuyakinkan orang tuaku, dengan kata-kata yang sebenarnya ditujukan untuk menguatkan diriku sendiri, bahwa aku mampu. Aku juga berjanji tidak akan membebani orang tua dalam hal biaya karena bila diterima Bidikmisi, biaya bukan lagi masalah. Kalaupun tidak lulus SNMPTN, aku berjanji akan langsung mengirim lamaran kerja sebanyak mungkin ke Bursa Kerja SMK. Beberapa teman menyarankan untuk melamar kerja saja dulu minimal sebagai cadangan kalau-kalau gagal SNMPTN. Sebenarnya, orang tua juga sudah berusaha membantuku untuk dapat langsung diterima kuliah di sebuah politeknik. Ada dilema besar antara mengambil tiket yang sudah ada di tangan atau membuangnya dan berharap pada sesuatu yang sangat tidak pasti. Akhirnya, aku memutuskan untuk memantapkan kembali niatku dan mengatakan tidak untuk semua alternatif itu. Sekarang aku kembali meyakinkan diri sepenuh hati dan pikiran untuk melanjutkan mimpiku kuliah di ITB. Aku tidak ingin mengulang lagi kesalahan-kesalahanku sebelumnya dengan menarik kata-kataku sendiri. Aku tidak ingin menjadi pengecut yang takut dan ragu-ragu maju ke medan perang
42 yang telah kupilih sendiri. Aku tidak ingin malah memilih untuk menyiapkan jalur aman sebagai jalan pelarian daripada menyiapkan perlengkapan perang untuk memenangkan pertempuran. Aku tidak ingin berpikir sebagai pecundang, bahkan sebelum perang itu sendiri belum dimulai. Aku hanya ingin berpikir layaknya seorang pemenang. Kini bila aku pikir kembali, memang tidak logis keputusanku dulu yang hanya bermodalkan kepercayaan pada mimpiku saja. Padahal, aku memilih ITB sebagai pilihan pertamaku di SNMPTN itu pun karena terpengaruh oleh temanku yang menceritakan kehebatan ITB. Sayangnya, ia belum kesampaian untuk kuliah di sana. Aku masih heran entah keberanian itu datang dari mana. Yang jelas jika waktu itu aku memilih untuk mundur teratur seiring keragu-raguan orang lain dan hanya menyimpan mimpi tanpa berani memperjuangkannya, mungkin tulisan ini pun tidak akan pernah ada.[]
43 Your Dream Will Become True Dani Mustofa Hey, The Dreamers... Mimpi. Satu kata yang menyimpan begitu banyak misteri. Tidak terdapat definisi yang pasti. Hingga kau, mampu untuk MEWUJUDKANNYA dengan tanganmu sendiri. Salam kenal untuk sahabat semuanya. Salam hangat dari sang pemimpi ulung yang ada di negeri ini. Salam semangat dari lubuk hati yang terpatri dalam aksi panji. Salam sejahtera untukmu yang selalu bermimpi tanpa lelah berhenti untuk terus berlari. Aku Sang Pemimpi Namaku Dani Mustofa. Aku adalah putra kedua dari tiga bersaudara. Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga dengan pendidikan rendah. Kedua orangtuaku adalah lulusan Sekolah
44 Dasar dengan pengetahuan dan pengalaman yang minim. Namun, syukurlah, keduanya memiliki semangat untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Aku memiliki kakak perempuan. Kami hanya terpaut selisih dua tahun saja. Sayangnya, dia tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang universitas. Awalnya, aku merasa sedih dengan keputusan orang tuakau untuk tidak menyekolahkan kakakku. Padahal, dia telah diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyarakarta. Berawal dari itulah, aku menjadi semakin tertantang untuk menuntaskan cita-cita dari orang-orang yang aku sayangi. Aku tahu jika ibu dan kakakku memiliki harapan untuk mengenyam pendidikan hingga tingkat tertinggi. Namun, apa daya, Tuhan memiliki rencana lain. Oleh karena itu, aku merasa memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan asa mereka. Mungkin, di pundakkulah impian dan harapan mereka dapat diwujudkan. Berada di lingkungan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah tidak membuatku pasrah kepada nasib. Aku sangat bersyukur karena Tuhan memberiku anugerah berupa keinginan untuk maju yang begitu besar. Sejak SMP, aku dikenal dengan anak yang tidak suka bermain. Aku lebih senang untuk duduk di pinggir sungai sembari membaca buku pelajaran.
45 Kemudian aku melanjutkan studi di salah satu SMA yang cukup populer di mata masyarakat desaku. Sebenarnya, itu bukanlah pilihanku. Aku berkeinginan untuk melanjutkan ke SMA kota yang lebih berkualitas. Namun, sayang, restu ibu tidak aku dapatkan sehingga aku harus mengganti pilihanku. Untunglah, Tuhan kembali memudahkan jalanku sehingga aku dapat diterima di kelas khusus imersi setelah melalui proses seleksi yang ketat. Di kelas itulah aku mulai menata mimpi sejak masuk SMA. Aku bercita-cita untuk dapat melanjutkan kuliah di universitas ternama di negeri ini. Dan awalnya, aku menjatuhkan pilihanku pada jurusan Hubungan Internasional. Aku menjaga keinginanku tersebut hingga kelas XI. Hingga pada suatu ketika, aku mendengar suatu kejanggalan. Bagaimana bisa ada sekolah bisnis dan manajemen ada di universitas teknik? Karena begitu penasaran, aku mulai melakukan pencarian terhadap “SEKOLAH BISNIS DAN MANAJEMEN ITB.” Sejak pertama kali membaca situs resminya, aku langsung jatuh cinta. Secara perlahan aku mulai melupakan keinginan lamaku. Hingga pada kelas XII aku memutuskan untuk memilih SBM ITB sebagai tempat untuk menuntut ilmu kelak. Sejak saat itulah, aku mulai menunjukkan ambisiku untuk menjadi mahasiswa SBM. Pantas saja, teman-temanku memanggilku dengan sebutan sang pemimpi. Sang pemimpi di siang bolong. Namun, aku tidak peduli.Aku terus saja mendeklarasikan tentang keinginanku untuk menjadi bagian dari keluarga besar SBM ITB.
46 Buku Mimpi, Jimat Andalanku Semakin lama, keinginanku untuk masuk SBM ITB semakin kuat. Hampir setiap hari aku selalu bercerita kepada teman-temanku tentang keindahan dan daya tarik SBM hingga mereka merasa bosan. Hingga pada suatu ketika, dilaksanakanlah sebuah acara training motivation oleh pihak sekolah. Namun, karena hujan turun lebat, dengan sangat terpaksa aku tidak menghadirinya. Keesokan harinya, temanku memberitahu tentang buku mimpi. Dia bercerita bahwa tulislah seratus mimpu dalam selembar kertas dan lihatlah ketika satu per satu dari semua daftar tersebut dapat tercapai. Aku merasa iri dengan temanku yang sudah membuat buku mimpinya. Aku pun menirunya ketika di rumah. Aku ingat betul bahwa buku mempi pertamaku memiliki sampul cokelat dan aku tuliskan ―Yakinlah, Semua Mimpimu Akan Menjadi Kenyataan‖. Aku menuliskan salah satu keinginanku untuk masuk SBM. Secara tidak sadar, aku menorehkan keinginanku untuk masuk SBM hampir setiap hari. Setiap malam aku selalu menuliskan harapan-harapanku untuk dapat masuk SBM ITB. Aku tuliskan besar-besar namaku berdampingan dengan nama SBM ITB. Aku hanya tidak tahu, ketika aku menulis, timbul semangat yang menyala. Aku menjadi lebih semangat dalam belajar. Seolah-olah, aku benar-benar menjadi mahasiswa SBM. Hingga aku tidak tersadar jika aku telah menghabiskan hampir dua buku dengan inti yang sama, yaitu keinginanku akan SBM ITB. Aku juga mulai membubuhkan gambar
47 kampus SBM dalam buku tersebut. Hal itu bahkan membuatku semakin semangat dalam berjuang dan belajar. Melihat Mereka Yang Menginspirasi Aku begitu kagum dengan orang-orang yang memiliki kisah sukses yang mengispitarif. Misalnya, Ahmad Fuadi dengan jurus andalannya ―Man Jadda Wajada‖, Agnes Monica dengan ―Dream. Believe. Make it Happen‖ serta kisah menarik Andrea Hirata. Mereka adalah contoh nyata para pemimpi ulung yang mampu mewujudkan harapan menjadi sebuah realita. Sepak terjang, perjuangan, perjalanan, kerja keras dan konsistensi yang ditunjukkan membuat aku dapat belajar banyak. Belajar dari perjalanan hidup mereka membuatku mengerti tentang arti perjuangan yang sebenarnya. Mereka tidak hanya berani bermimpi, tetapi juga berani beraksi untuk mewujudkannya. Dari merekalah aku menjadi lebih berani untuk meraih SBM. Dan tetap berani untuk meraihnya bahkan ketika aku terpuruk. Sesulit apapun itu aku harus meraihnya. Ketika Dunia Menertawakamu Keinginanku untuk masuk SBM ternyata ditentang banyak orang. Mereka tidak yakin kalau aku mampu untuk mencapainya. Mereka malah menertawakan keinginanku yang terkesan ngawur. Biaya SBM yang mahal membuat mereka melemahkan keinginanku. Bahkan, orang terkasihku pun,
48 melakukan hal yang serupa. Mereka tidak mendukung keinginanku untuk masuk SBM. Aku sedih karena tidak ada orang yang mencoba mendukung dan menguatkanku. Mereka malah seolah-olah meremehkan keinginanku tersebut. Awalnya, aku merasa sakit hati. Aku merasa tidak memiliki orang yang dapat menjadi sandaran ketika aku lemah. Apalagi, ibuku juga membujukku untuk mengganti pilihanku. Dia takut jika aku kecewa karena aku tidak mungkin masuk. Mana mungkin orang tuaku dapat membiayaiku dengan kebutuhan biaya kuliah di SBM yang sangat tinggi. Namun, aku mencoba bertahan. Aku mencoba untuk melupakan semua pendapat mereka. Aku berusaha untuk tidak menghiraukan ejekan mereka. Biarlah, aku akan tetap melangkah dengan apa yang aku yakini benar. Aku tetap memilih SBM. Titik. Dan Ketika Aku Terjatuh Pada saat kelas XII kondisi kesehatanku menurun. Aku sering izin dari kegiatan belajar di sekolah dan beristirahat di rumah. Hal tersebut membuat aku frustasi. Bagaimana bisa, teman-temanku sedang dalam suasana semangat puncak belajar dan aku malah terkapar tidak berdaya. Hingga kondisi kesehatanku yang memburuk hingga aku harus menjalani rawat inap selama seminggu. Kontan saja, hal tersebut semakin membuat aku marah. Aku hanya takut, nilaiku turun
49 dan aku akan gagal masuk SBM. Aku tidak ingin perjuanganku selama ini untuk mencapai SBM akan percuma. Dan benar saja, peringkatku langsung turun. Aku yang biasanya bertengger di posisi dua harus puas dengan peringkat tujuh. Kecewa, tentu saja. Grafik prestasi belajarku menunjukkan penuruan. Hal tersebut membuat aku agak ragu untuk mendaftar di SBM. Namun, aku hanya berdoa, ―Ya Allah, jika memang Engkau yakin aku mampu bertahan di SBM, aku pasti akan diterima. Dan jika memang tidak, tunjukkanlah jalan yang terbaik untukku.‖ Berkat doa tersebut, aku tetap mengukuhkan niatku untuk memilih SBM. Apapun hasilnya nanti. Sungguh, Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang Hingga saat pengumuman itu tiba. Aku sungguh tidak menyangka ketika aku berhasil diterima di Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB. Aku begitu senang dan bersyukur. Aku tidak mengerti bagaimana mungkin aku dapat diterima dan mendapat beasiswa bidikmisi pula dari pemerintah. Aku tidak perlu untuk mengeluarkan uang sepeserpun untuk membiayai kuliahku. Akhirnya, perjuanganku selama tiga tahun dalam belajar dapat terbayarkan. Aku tahu bahwa diterimanya aku di SBM adalah awal dari mimpi-mimpi yang lain. Oleh karena itu, aku tidak akan lengah di sini. Aku akan tetap menjadi kaki-kaki kijang yang tidak akan berhenti berlari. Hingga aku dapat menjemput indahnya hasil perjuangan yang telah disiapkan Tuhan untukku suatu saat nanti.[]
7 Rekomendasi Buku Cerita Bahasa Inggris Anak Terbaik – Belajar Bahasa Inggris sebenarnya tidak harus menunggu anak tumbuh dewasa, tetapi bisa dimulai sejak masih kecil. Namun, Harus menggunakan metode yang menyenangkan agar anak tidak merasa bosan saat belajar.
Salah satu metode yang dapat dilakukan orang tua adalah membacakan atau memberi buku cerita anak berbahasa Inggris.
Bagi para orang tua gak perlu bingung mencari buku cerita Bahasa Inggris untuk anak. English Academy punya 7 rekomendasi buku cerita Bahasa Inggris anak terbaik yang bisa menjadi pilihan orang tua.
Rekomendasi Buku Cerita Bahasa Inggris Anak Terbaik
Buku yang satu ini bercerita tentang seekor kelinci yang tinggal di dalam pohon berlubang bernama Nicholas. Pada suatu hari dimusim dingin Nicholas menyaksikan salju jatuh dari langit, lalu meringkuk di pohonnya yang berlubang dan bermimpi tentang musim semi.
Buku ini menjadi buku cerita Bahasa Inggris favorit anak selama beberapa generasi. Anak-anak dapat belajar banyak kata kerja dari kegiatan yang dilakukan pemeran utama.
Buku cerita bergambar yang kedua ini merupakan best-seller pada masanya. The Very Hungry Caterpillar mengisahkan seekor ulat yang gak pernah kenyang! Dalam hidupnya, ulat tersebut hanya mencari makan hingga akhirnya tidur panjang dalam kepompongnya. Selain untuk belajar bahasa Inggris, buku ini mengajarkan anak tentang metamorfosis kupu-kupu lho.
May I Please Have a Cookie merupakan board book dengan 30 halaman yang bisa dibaca untuk anak usia 4-8 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk dibaca oleh anak dengan berbagai usia.
May I Please Have a Cookie bercerita tentang Alfie yang sangat menyukai kue buatan ibunya. Ia menginginkan kue tersebut lebih dari apapun hingga melakukan berbagai cara untuk mendapatkannya.
Baca Juga : 5 Aplikasi Belajar Bahasa Inggris Terbaik 2022
Buku yang kali ini memiliki kisah yang menarik tentang seorang bajak laut bernama CeCe yang berpetualang bersama kakeknya mengarungi samudra dengan kapalnya. Petualangan yang asyik dan seru dari CeCe dan Kakek mengajarkan Keberanian serta hidup mandiri. Buku ini juga dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada anak untuk menjadi apa yang anak inginkan. Buku ini dirangkai dengan background petualang yang dimuat dalam Bahasa Inggris
Anak usia di bawah 5 tahun suka sekali dengan buku cerita binatang. Para orangtua dapat memberikan buku yang satu ini. Karena, Buku ini dikemas dengan cerita mengenai kehidupan Dinosaurus yang tergambar jelas dalam bentuk pop up disetiap lembarnya. Tentu hal itu akan menarik minak anak untuk membaca buku yang satu ini.
Seperti yang kita ketahui, Manusia membutuhkan teman untuk bermain sama halnya dengan seekor beruang kutub kecil yang berasal dari kutub utara dalam cerita The Little Polar Bear.
Beruang kutub kecil yang satu ini sangat suka berpetualang hingga akhirnya ia memutuskan untuk berpetualang mencari teman bermain.
Dapatkah beruang kutub kecil ini menemukan teman dan menjadikan kutub utara tempat ia tinggal menjadi tempat bermain?
Buku cerita Goodnight Moon memiliki cerita yang kompleks dan mudah untuk difahami. Yang dimana menceritakan nenek tua membuat sarung tangan di musim salju, Singkat cerita sarung tangan yang dibuat si nenek tertinggal si salju dan akhirnya ditinggali oleh banyak hewan seperti kelinci, landak tikus dll.
Demikianlah 7 Rekomendasi Buku Cerita Bahasa Inggris Anak Terbaik yang cocok bagi si kecil. Selain dapat belajar bahasa Inggris melalui buku-buku ini, mereka juga dapat mengembangkan daya imajinasi, meningkatkan kemampuan otak dan berbagai macam hal lainnya terutama pengenalan Bahasa Inggris sejak dini.
Buku-Cerita-Inspiratif-2014-Bidikmisi-ITB-Berani-Mimpi-Berani-Aksi
- Uploaded: 12 August 2024